Monday, October 21

TOQ DUYAA (baca: toq dooya:)



HANTU MALES. Dulu waktu kecil, kalo denger orang-orang tua Dayak memarahi anaknya yang menurut mereka malas, mereka bakal bilang ke tamu dengan nada sarkastis dan keras-keras,”hyaq au gaq toq duyaa hyaq na”. Artinya,”dia udah kena hantu males, tuh! “ . Atau kata sindiran lain,”meraan kah toq duyaa ana naa”. Artinya, “Kebangetan banget tuh hantu males itu.” Suara keras nan nyaring itu sengaja di depan tamu supaya anaknya malu dan mau berubah, dan juga seolah pekik dan tajemnya itu supaya suara itu bener-bener masuk telinga dan sekaligus otak si anak. Aku sebagai anak si tamu alias ibuku yang biasanya lagi ajak aku bertamu ke rumah sepupu atau keluarga lainnya cuma mendengar sepintas lalu. Untukku, suara si tante cuma sampe telinga. Entah buat anaknya. Tapi kalo itu terjadi padaku yang love language-nya adalah word of affirmation ini, suara ibuku biasanya masuk telinga, otak, dan menembus hati! Jlebbb memang rasanya.
Tapi meskipun buat aku masuk ke hati, ternyata terproses diotaknya sedikit lambat. Amat sangat lambat mungkin. Baru sekarang aku sadar kalau orang Dayak menghubungkan sifat males dengan adanya roh atau setan yang menyebabkan seseorang jadi malas luar biasa. Dulu sih istilah ini tidak begitu jadi perhatianku. Tapi setelah mengalami sendiri kemalasan luar biasa, aku merasa jangan-jangan istilah roh/ setan malas ada benernya.
Kenapa aku bisa berkesimpulan begitu? Begini ceritanya.

 JOGGING. Track sejauh 10 kali keliling stadion sepakbola sudah berkali-kali aku lakukan. Bahkan dari SMA. Tapi akhir-akhir ini, aku selalu terhenti di putaran 4 atau 6 saja, dilanjutkan dengan jalan kaki sampai 10 kali putaran. Dengan banyak sekali alasan di kepala, aku selalu berhenti sebelum target lari 10 putaran tercapai. Sakit di pinggang lah, sakit di telapak kaki lah, sakit maag lah, takut pingsan lah, maklum dong usia kepala 3 ngga perlu ambisius 10 putaran kayak waktu lebih muda lah, ahhh toh temen-temen sebaya juga hampir nggak ada yang bisa nyampe segitu buat apa maksa diri sendiri lah, atau ahhh beribu-ribu pikiran nggak penting lainnya. Dan dari sepanjang pengalaman melakukan jogging, tidak ada yang lebih berat daripada jogging 10 putaran di GBK yang aku lakukan Kamis 5 minggu lalu*. Berat karena alasan fisik? TIDAAAK. Tapi kali ini jelas sekali terasa berat karena malas. Dan ternyata rasa malas itu bermanifestasi dalam segala bentuk sakit diberbagai anggota tubuh dan berbagai-bagai pikiran. KOK BISA?
Setiap muncul rasa sakit, kali ini aku tidak berusaha melawannya. Tidak pula mengikuti reaksi perasaan yang mengikutinya seperti rasa kasihan atau khawatir. Rasa sakit itu ya aku biarkan sebagai rasa sakit saja. Rasa sakit itu aku sadari saja, aku rasakan saja tanpa bereaksi. Aku menunggu sampai sejauh apa rasa sakit itu muncul. Sampai sesakit apa. Begitu juga dengan pikiran-pikiran yang sibuk berlalu lalang mengikuti rasa sakit itu, aku sadari saja. Tidak berusaha mencari darimana datangnya, kemana perginya. Aku hanya menyadari saja keberadaan pikiran-pikiran itu tanpa bereaksi dan mencari solusi. Hingga akhirnya batinku  tersadar, mengatakan rasa sakit ini datangnya darimana. Yaitu dari RASA MALAS. BENARKAH?

ON THE WAY. Sakit pertama adalah maag. Di tengah jalan menuju GBK, tiba-tiba muncul rasa sakit maag dan mual ringan, padahal selama ini  ngga pernah samasekali sakit maag. Hggghhh, ada-ada aja nih. Kok tumben? Tadi makan apa ya? Tapi aku tetap lanjut menuju GBK sembari berpikir, liat ntar deh. Kalo memang rasa sakit memuncak pas sampai lokasi, ya mungkin nggak perlu lari.  Atau lari sesanggupnya deh. Akupun hanya menyadari rasa sakit itu sambil berpasrah dengan keadaan nanti. ANEH! DAN NYATA! Sakit maag itu hilang begitu saja! Merasa senang dengan perubahan itu, aku lalu segera membayang-bayangkan rasa bosan yang akan aku alami selama jogging nanti. Namanya juga mau keliling 10x, aku mulai menyiapakan antisipasi bagaimana nanti mengatasi rasa bosan itu.

 PUTARAN 1. Baru juga mau mulai jogging, nyeri di pundak dan leher tiba-tiba terasa. Ahhh, ada-ada aja nih sakitnya. Kan sebelumnya udah pemanasan dan peregangan yang cukup. Apa salah posisi tidur tapi baru terasa sekarang ya? Wah kalo sekarang aja pegel, bagaimana nanti kalo selesai jogging kali ini ya? 10 putaran itu banyak lhooo. Apa cukup 5-6 kali putaran aja ya? Ah tapi kan “hati kecil” ku bilang aku harus sampai 10 putaran kali ini. Untuk apa? Tidak tahu. Tidak ada penjelasannya, cuma minta dilakukan saja. Ok, ok, iya, iya, 10 putaran deh! Kecuali, kalau nanti terasa satu titik langkah lagi aku akan pingsan atau satu kali tarik nafas lagi aku bakal jatuh tak sadar, maka aku berhenti. Kalau tidak, apapun yang terjadi maka aku akan terus lari sampai 10 putaran. Atau kalo kali ini memang harus pingsan, apa aku pingsan aja kali ya! Haha Detik aku berpikir begitu, sakitnya hilang begitu saja. NYATA! EH KOK BISA? Entahlah, yang penting aku menikmati putaran pertama dengan semangat.


PUTARAN 3 & 4. Sakit yang berikutnya adalah nyeri di telapak kaki yang mulai di putaran ke-3. Lumayan serius sakitnya. Aduh, apa lagi ini? Akupun “merasa-rasa” sakitnya dengan kesadaran seolah-olah aku memandang rasa sakit itu dengan tanpa reaksi. Lucunya, trus seolah-olah rasa sakit itu minta dikasihani. Diapun menelusupkan pikiran-pikiran: Kok tega amat sih sama kaki sendiri? Ambisius amat sih? Nggak apa-apa kok istirahat bentar? Bertahap dong olahraganya, nggak boleh dipaksa? Nanti keram otot? Kalo sampai ada urat atau otot yang putus? Kalo masuk RS gara-gara jogging doang, nggak lucu lhooo, lagian ngga ada duitnya lhooo? Memasuki putaran 4, terlintas: yakin nihhhhh? Tiba-tiba setitikkkkk saja aku menyadari dalam lubuk hati nun jauh di sana bahwa jangan-jangan rasa sakit itu adalah rasa malas. Begitu aku menyadari hal itu, rasa sakitnya seketika hilang. SUNGGUH! NYATA! Seolah-olah rasa sakit itu merasa malu tertangkap basah menyamar dalam bentuk rasa nyeri di kaki. Seluruh tubuhku pun terasa segar bugar seperti baru mulai putaran 1.

PUTARAN 5. Rasa malas muncul sebagai rasa malas aja. Cukup nambah 1 putaran lagi ajalah. 6 putaran cukup kokkkk, kayak minggu lalu aja. Pikiran-pikiran berseliweran: aduhhh, mau buktiin apa sih mesti ampe 10 putaran segala? Bahkan kalo mau berhenti sekarang juga ngga dosa.Pffff, ngga bisa gitu. Harus ada kemajuan dong dari minggu lalu. Lawan ah rasa malasnya.

PUTARAN 7 & 8. Sakit yang sangat – sangat serius di perut kanan atas. Rasanya seperti kalo kebanyakan minum sebelum olahraga. Aku mulai berpikir untuk benar-benar berhenti.  Belakangan aku baru tau alasan medisnya adalah karena liver kita yang “ketarik” karena aktifitas olahraga yang cukup berat. Aku mengatur nafas panjang pendek, melambatkan ritme lari, mengeluarkan suara-suara saat mengeluarkan nafas dari mulut yang kadang terdengar seolah-olah ini lagi bela diri. Mungkin orang-orang sekeliling GBK yang kalau hari Kamis malam lebih banyak ngeceng daripada olahraganya itu mengira,” nih perempuan stress banget kayaknya ya.” Haha Biarin ah. Namanya juga menyemangati diri sendiri. Kalo bukan diri sendiri, siapa lagi??? Aku sebatang kara di GBK ini dimana orang2 lain terlihat banyak bergerombol lari dengan genk-nya. Dan tuhhh kan, begitu aku merasa-rasa sakitnya, tiba-tiba sakit itu lenyap!!! NYATA! Akupun mulai bertanya dalam hati, bagian badan apalagi yang bakal sakit ya? Semua rasa sakit ini padahal rasa sakit yang sangat masuk akal dialami oleh pelari jogging. Yang tidak masuk akal itu, rasa sakit yang hilang begitu saja saat disadari rasa itu apa adanya. Kenapa ya?

PUTARAN 9. Marahhhhhh! Entah kenapa, rasa marah memuncak luar biasa dari dalam diri. Marah karena merasa dipaksa melakukan sesuatu tanpa alasan apapun. Tidak ada keinginan untuk menang kompetisi lari. Nggak ada alasan kurus lagi. Tidak ada keinginan untuk membuat siapapun terkesan. Tidak ada alasan apa-apa, jadi apa fungsi lari 10 putaran iniiii? Non sense! Buat apa lakukan sesuatu yang tidak ada fungsinya! Mungkin aku sudah terdengar seperti orang kesurupan, karena jogging sambil sesekali berteriak jauh lebih kencang dari sebelumnya, sekedar untuk menyemangati diri. Aku agak kaget juga merasakan ada rasa marah itu. Benar2 marah. Rasa marah yang agak absurd. Seolah-olah ada sesuatu didalam diri yang terbangun dan terusik karena dipaksa melakukan sesuatu.

PUTARAN 10. Aku hampir nangis. Karena capek? TIDAKKKKK. Jelas terasa badanku masih sanggup melakukan bahkan sampai 2 putaran lagi. Tapi rasa malas itu benar-benar marahhhhh! Barulah tiba-tiba teringat orang – orang tua Dayak memarahi anak-anaknya dengan istilah roh/ setan malas. Iya, seolah-olah setan itu marahhhh luar biasa. Marah karena tidak ada “alasan lain” yang menggesernya, seperti rasa ambisius, gengsi, pelampiasan, ingin kurus, mau memecahkan rekor, atau apapun itu dari ego ku. Marah karena 10 putaran ini hanya sekadar dilakukan karena mendengar kata hati. Trus muncul setitik rasa takut. Takut kalo setan malas akan balas dendam. Hah? Pikiran apa pula itu? Tapi aku biarkan saja pikiran itu lewat tanpa berusaha menganalisanya. Nafasku tersengal-sengal. Kadang aku bernafas sambil bergumam saking melawan rasa malas yang pelan-pelan menjelma jadi rasa takut. Seolah-olah sekarang aku sedang berhadap-hadapan langsung dengan rasa malas yang bentuknya dalam pikiranku jauhhhh lebih besar daripada aku.

***
Oh akupun tersadar, kalo dulu aku begitu bersemangat jogging 10 kali putaran stadion bola itu adalah karena kepengen kurus! Bukan karena rajin dan senang olahraga! Jadi saat alasannya sudah tercapai atau alasan lainnya sudah tidak ada lagi, semangat melakukannya pun hilang. Yang tertinggal hanyalah malas. Sebelumnya, malas itu hanya tergeser oleh ambisi. Jadi bukan karena aku rajin olahraga, tapi karena aku berambisi untuk kurus. Begitu ambisiusnya, sampai rasa sakit dan dan rasa malas pun tergeser waktu itu. Tapi ingat, hanya tergeser, bukan hilang.
Terus aku berusaha menelaah lagi gerakan perasaan-perasaan apa yang selama ini mendorong aku melakukan sesuatu.
Belajar. Dulu harus harus harus belajar bukan karena rajin dan memang mau belajar. Tapi kok bisa lulus dan berprestasi? Cuma karena rasa malas belajar waktu sekolah BISA JADI digeser oleh rasa gengsi, rasa takut, rasa malu, rasa marah, rasa ingin membuktikan sesuatu untuk orang-orang tertentu, rasa haus pujian, rasa balas dendam, rasa ambisius untuk sukses. Pantesan, begitu kenal duit sedikit selama kuliah, rasa malas belajarnya membunc(y)ahhhhh luar  biasa. Haha Lulus kuliah pun jadi lamaaa, karena berkutat dengan malesnya belajar. Tapi akhirnya lulus, apakah karena rajin? TIDAKKKK, tapi lebih karena malu ama adik tingkat. Dan malu ama teman-teman seangkatan yang udah hampir semuanya sudah lulus duluan. Jadi sekali lagi, rasa malas belajar hanya tergeser oleh rasa malu. Makanya kalau ditanya apapun seputar mata pelajaran sekolah atau mata kuliah, tidak ada yang nyangkut di kepala. I'm totally not smarter than a 5th grader!

***

Tidak menyangka, jogging bisa jadi pengalaman spiritual. Pantesan kata hati meminta aku melakukan saja. Karena dia ingin menunjukkan “siapa” rasa malas itu. Dan rasa malas itu marahhhhh sekali saat aku bisa mengetahui identitasnya. Dia tidak lagi bisa sembunyi dibalik rasa perasaan atau pikiran-pikiran.
Tiba-tiba, rasanya aku dihadapkan pada kenyataan hidup yang terbuka lebar bahwa rasa malas bisa menipu dibalik banyak hal. Bisa menipu dibalik kata kemudahan, kepraktisan,ato bahkan dibalik kata  cute? Kan kedengeran cute aja kalo ngaku males bangun pagi dan males berangkat kerja ketimbang ngaku rajin bangun pagi dan rajin semangat kerja atau sekolah haha
Dan bukankah banyak sekali inovasi dunia modern untuk melayani kemalasan manusia? Aku pernah membaca di salah satu blok motivasi bisnis, cari saja manusia sekarang malas apa, bikin bisnis yang melayani kemalasan itu, pasti laku keras. Tak heran, buat yang males ngurus badan, ada salon. Dan fast food hadir untuk yang malas repot makan. Bahkan untuk makan pun malas! Bayangkan! Semua yang serba instan, sadar atau tidak sadar melayani kemalasan kita untuk menunggu. Dan bayangkan, kenapa banyak muncul bisnis cuci mobil, cuci helm, cuci sofa, baby sitter, pembantu? Bahkan handphone membuat aku tidak ingat satu nomor telepon pun dari temen-temen dan keluarga dekat kecuali nomerku sendiri. Rasa malas bisa bersembunyi dibalik pikiran: tidak sempat, lebih praktis, lebih modern, lagi capek, dll. Temukan sendiri deh alasannya. Pasti terkaget-kaget dengan temuannya.

***
 
Dan apakah dengan menyadari “malas” itu aku terbebas darinya? Iya, tapi tidak untuk selamanya. Harus latihan terus menerus untuk secara sadar tahu bahwa dia tidak datang menyamar dalam bentuk pikiran-pikiran atau perasaan-perasaan lainnya. Bahkan untuk menuliskan cerita ini saja, “malas” itu kembali menggeliat dan sok marah. Aku hanya menyadari rasanya, mengenal pikiran-pikiran yang berasal darinya dan “menatap” dia sembari tetap terus mengetik kata demi kata. Dia terlihat lemah tak berdaya. Dan hilang! Aku tersenyum. Apakah aku berhasil mengalahkannya? BISA JADI. Tapi mungkin lebih tepatnya, bukan aku yang menjadi kuat melainkan rasa itu sendiri yang melemah saat aku menyadarinya. Dan akupun bertekad bahwa segera, di saat yang tepat, aku akan bertemu dengan teman dekatnya, yaitu: rasa takut. Tunggu saja ceritanya.

*Hghhh. See? Rasa malas itu muncul kemudian dalam berbagai – bagai alasan. Buktinya, tulisan ini selesai 5 minggu kemudian setelah kejadian jogging-nya. Hati-hati, dia penipu ulung!

Monday, May 6

PENTING!

"Bapak beli kompor 7 juta!", adikku melapor seolah bapak habis merampok rumah kepala kepolisian senilai 7 miliar.

"Oya? Kapan? Memangnya yang lama udah rusak?" tanyaku penasaran.

"Baru kemaren. Justru itu, yang lama baik-baik aja. Yang baru mau ditaruh dmana? Alasan belinya cuma karena ini kompor model baru. Ditambah alasan yang lama pake gas dan yang baru pake listrik. Jadi siapa tahu gas habis katanya", adikku berapi-api.
Hm, iya sih, kompor lama super canggih di "jamannya" itu berukuran tidak kecil. Jadi yang baru ditaruh dimana ya? Hm, TAPI iya juga sih, gas bisa jadi susah ditemukan dipasaran. Mungkin bapak punya firasat kalau hidup di Kalimantan ini yang berstatus sebagai sumber minyak dan gas tapi penduduknya suka ngga kebagian jatah minyak, akan segera ngga kebagian jatah gas juga. Ironis memang.

"Kehabisan gas itu alasan paling dibuat-buat deh. Kan mending duitnya buat kebutuhan lainnya dulu yang lebih penting," adikku masih tidak terima.

Benarkah membeli kompor tidak penting?
Memiliki perkakas rumah yang komplit adalah kesenangan bapak sejak dulu. Bahkan memiliki perkakas rumah dengan merek dan kualitas terbaik adalah obsesinya. Baginya, rumah boleh jadi bentuknya tak memuaskan estetika. Peletakan barang pun seringnya tak menyejukkan mata, yang mana itu dulu sering jadi sumber "pertempuran" kami di rumah. Tapi aku mengerti bahwa bapak akan mengisi rumah dengan misalnya membeli ranjang terbaik, memilih perabotan yang tahan lama, menumpuk peralatan makan berkualitas, atau menyimpan perkakas dari merek nomer satu, tentunya disesuaikan dengan kemampuan finansialnya. Termasuk kompor, yang harus selalu "canggih dijamannya". Apalagi bapak suka memasak. Meskipun sebenarnya sekarang bapak tinggal sendiri setelah ditinggal anak-anaknya berkarir dan berkeluarga. Sepertinya satu tabung gas pun kayaknya baru akan habis berbulan-bulan untuk beliau memasak sendiri kebutuhan makannya.
 
Jadi ini sepertinya hanya masalah prioritas. Adikku mungkin tak sadar. Jika untuknya, yang penting adalah wisata kuliner, entah berapa rupiah sudah dia habiskan untuk sensasi kenikmatan berbagai menu. Maka buat bapak, bukan enaknya makanan, tapi sensasi memasak dengan kompor canggih (meskipun hanya untuk merebus ikan yang ditaburi garam) yang lebih memuaskan jiwa.   

Mungkin sama seperti orang yang suka menyayangkan orang-orang lain yang menghabiskan uang untuk membeli tas mewah demi "investasi", dan pemilik tas menyayangkan uang yang oranglain habiskan untuk travelling demi menghasilkan foto dan keseruan sementara. Mending jadi barang, kata pemilik tas mewah. Orang yang satu menyayangkan orang-orang lain yang rela mengeluarkan isi kocek demi gonta-ganti gadget, dan orang - orang pecinta gadget mungkin menyayangkan uang yang dihabiskan orang lain untuk ke bioskop. Film sih mending download aja, kata pecinta gadget.

Lucu ya ternyata, bahwa kita suka menganalisa mana yang penting dan tidak untuk oranglain, berdasarkan apa yang penting dan tidak untuk diri kita sendiri. Well, membeli kompor tidak penting untukku dan adikku. Tapi kompor canggih sangat penting untuk "me time" bapak di rumah.

"Yaaaa mau bagaimana lagi, toh uang lebih itu hasil keringat bapak sendiri. Mungkin ada baiknya kita biarkan bapak memutuskan sendiri juga uangnya mau dipake untuk beli barang yang dia mau," kataku setengah membela bapak, meskipun aku pun tidak merasa beli kompor cukup bijaksana di saat tahu bahwa atap teras depan masih rusak dan jendela rumah pun butuh perbaikan.

Sunday, May 5

HARAHAP

"Udah ngga lentur nih!"

Jleb. Itu kalimat bercitarasa sembilu. Sebagai perempuan aktif di umur produktif, hati kecil ngga mau terima kalau pinggang ini oleh seorang tukang pijet di vonis "tidak lentur". 
"Pak, kan aku suka lari 10K", aku membela diri.   
        "Kapan terakhir?"
Wakwaw! Iya kapan terakhir ya? Hehe
"Pak, tapi kan aku banyak jalan waktu keliling Jogja, Malang, Bali, Lombok 6 bulan yang lalu. Belum lagi naik gunung Bromo, Ijen, ama Gede juga sekitar 6 bulan lalu."
       "Olahraga itu ngga menjamin bikin sehat. Ngga ada hubungannya. Tapi setidaknya bikin badan bugar dan lentur. Nah klo mau lentur, ya jangan sesekali dan balas dendam. Kayak misalnya: Ahhh, pokoknya kali ini maen bulutangkis ampe mandi keringat. Ahhh, pokoknya sekarang mau maen futsal sampe maksimal. Atau ahhhh hari ini harus jogging 10K tapi terus absen 6 bulan ke depan. Wah itu sih bakal babak belur. Dan yang ada bukannya sehat. Malah uratnya sakit smua karena kaget. Olahraga ngga usah yang mahal-mahal. Cukup jalan kaki atau stretching sekitar 20 menit tiap hari juga cukup. Yang penting kuncinya  HARUS RUTIN dan BERTAHAP".

Ahhhhh HARAHAP! Pikirku. HArus Rutin dan bertAHAP. Aarggghhhh dua kata terakhir terdengar menyebalkan tapi entah mengapa terasa benar. Mungkin karena dua hal itu adalah kelemahanku. Sebagai freelancer bertahun-tahun aku tidak terbiasa dengan sesuatu yang rutin. Setiap pekerjaan berbeda. Dan justru alasan terbesar yang mengantarkan aku menjadi freelancer adalah KEDINAMISAN. Terngiang kata sakti dari sang idolaku Paolo Coelho: "If you think adventure is dangerous, try routine it's lethal." Jadi pekerjaanku terkadang dengan penuh tantangan banyak menumpuk sampai gaya sok sibuk melebihi RI 1. Atau malah santai melebihi anak pantai. Bertahap? Hmmmm. Kata yang udah lama juga tidak dicerna. Karna pekerjaanku (tampak) tidak ada tahapannya. Setiap proyek kerja punya ritme dan gejolak dan sensasinya tersendiri, terlepas dari apa yang dimaksud dengan tinggi atau rendahnya "tahap" disini.

Ahhhh, banyak alasan!!!! Ego memang selalu pintar cari pembenaran. Karena jauh dilubuk hati, ada yang bilang kalau tak terbayang jika matahari sesuka-suka hati datang dan pergi demi jiwanya yang petualang. Atau karena "mau beda ajah" dari rambutan lainnya maka tanpa alasan pohon rambutan berbuah durian. Atau jantung berhenti berdegup karena "bosen bangetttt puluhan tahun kerjaan gue gitu-gitu aja kayak mayat hidup" *heh?*

Alam ada dalam keteraturan yang rutin dan bertahap. Begitu juga tidak ada seorangpun yang terlahir dengan ketrampilan. Hanya bermodal bakat, kerutinan berlatihlah yang menghasilkan. So it's not routine that kills. Boredom does. Mungkin bahkan seorang Paolo Coelho pun harus kembali belajar lebih banyak lagi dari alam apa arti rutin dan bertahap. Dan tentang seberapa besar artinya aturan dan keteraturan. 

         "Seringkali hati kecil kita tahu kok apa yang harus dilakukan. Dan hati kecil kita tahu banyak jawaban.  Tapi suka terkalahkan dengan rasa malas. Rasa malas itu harus dilawan."
Danggg, suara tukang pijat lagi-lagi memecah kesunyian dan memecah hati sanubari. Ya rasa malas dan pembenaran, pikirku lagi. Wah, profesi memijat tuh benar-benar bisa membawa kebijaksanaan ya? Semoga bisa ditularkan pada yang dipijat.

Manusia memang kadang hanya perlu diingatkan. Untungnya kali ini aku diingatkan hanya lewat pinggang kaku dan tukang pijat berusia awal 50-an.

So, demi pinggang lentur dan hidup yang (secara fisik dan mental) lebih sehat...OK let's do it! Bye (false) adventure..hello routine, whatever routine it is! Dan aku yakin, kerutinan kali ini akan penuh petualangan!

Sunday, January 27

IN SOLITUDE

by Paulo Coelho on January 23, 2013
(http://paulocoelhoblog.com)

For those who are not frightened by the solitude that reveals all mysteries, everything will have a different taste.

In solitude, they will discover the love that might otherwise arrive unnoticed. In solitude, they will understand and respect the love that left them.

In solitude, they will be able to decide whether it is worth asking that lost love to come back or if they should simply let it go and set off along a new path.

In solitude, they will learn that saying ‘No’ does not always show a lack of generosity and that saying ‘Yes’ is not always a virtue.

And those who are alone at this moment, need never be frightened by the words of the devil: ‘You’re wasting your time.’

Or by the chief demon’s even more potent words: ‘No one cares about you.’

The Divine Energy is listening to us when we speak to other people, but also when we are still and silent and able to accept solitude as a blessing.

And in that moment, Its light illumines everything around us and helps us to see that we are necessary, and that our presence on Earth makes a huge difference to Its work.


taken from MANUSCRIPT FOUND IN ACCRA

Wednesday, January 23

CONSISTENCY

"But you know, I just, I need... some consistency."
- (500) Days of Summer -

PASRAH vs MALAS


Nguping saat nunggu travel dari Jakarta - Bandung, di sebuah resto waralaba makanan cepat saji. Nggak maksud, tapi suara bapak meja sebelah memang cetar membahana menasehati dua teman di depannya: "Pasrah itu beda tipis ama males. Bedanya, pasrah itu MELAKUKAN sedangkan malas itu TIDAK MELAKUKAN".

PENGIKUT


Dibanyak tempat, orang diajarkan untuk menjadi pemimpin. Tidak banyak yang mengajarkan untuk menjadi pengikut. 
Tidakkah menjadi pengikut yang baik sama pentingnya dengan menjadi pemimpin yang baik? Supaya seorang pengikut tahu apa yang harus diikuti dan apa yang tidak, siapa yang harus diikuti dan siapa yang tidak, kapan harus ikut dan kapan tidak ikut. 
Bukankah kata hati dan sang Pencipta butuh pengikut yang baik? Supaya kita tidak lagi berusaha dengan sia-sia memimpin kata hati untuk memberi jawaban dan memerintah Tuhan untuk mengabulkan doa.